TIMES MANUKWARI, JOMBANG – Perundungan di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) menjadi topik utama dalam Bahtsul Masail Nasional yang digelar dalam rangka Haul KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ke-15 di Ponpes Tebuireng, Kabupaten Jombang.
Kegiatan yang berlangsung selama dua hari, yakni Kamis (19/12/2024) dan Jumat (20/12/2024) ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting untuk mencegah praktik bullying di pesantren.
Dalam konferensi pers yang digelar di Aula Gedung Yusuf Hasyim, Ponpes Tebuireng, Minggu (22/12/2024) sore, KH. Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin, pengasuh Ponpes Tebuireng, menyampaikan bahwa hasil Bahtsul Masail ini akan menjadi rekomendasi bagi seluruh pesantren di Indonesia.
"Rekomendasi ini penting agar pesantren-pesantren lebih memperhatikan perilaku perundungan, terutama dari senior kepada junior," ujar Gus Kikin, yang juga menjabat sebagai Ketua PWNU Jawa Timur.
Bahtsul Masail Nasional kali ini mengundang 55 delegasi dari berbagai daerah di Indonesia, di antaranya 40 delegasi dari Jawa Timur, 8 delegasi dari Jawa Tengah, 3 delegasi dari Jawa Barat, serta delegasi dari Jambi, Riau, dan Sumatera Barat.
KH. Achmad Roziqi, Penasihat PW LBM NU Jawa Timur, yang turut hadir dalam konferensi pers tersebut, menyoroti peningkatan signifikan kasus kekerasan di sekolah dan pesantren.
Berdasarkan data internet, jumlah kasus kekerasan di sekolah melonjak dari 30 kasus pada tahun 2023 menjadi 293 kasus pada tahun 2024. Ia menekankan bahwa pesantren, yang dikenal sebagai lembaga pengasah moral, tidak luput dari fenomena perundungan.
"Di pesantren, terutama yang masih kental dengan budaya senioritas, sering terjadi perundungan fisik maupun verbal," ungkap Roziqi.
Bahkan, ada beberapa kasus di mana perundungan berujung pada kematian.
Dalam pandangan syariat, perundungan adalah perilaku tercela yang diharamkan. Roziqi menegaskan bahwa tindakan merendahkan, mengolok-olok, atau meremehkan seseorang, baik secara verbal maupun fisik, adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan.
"Pengurus pesantren memiliki kewajiban untuk melarang dan mencegah terjadinya perundungan serta memberikan edukasi tentang bahaya bullying," tegasnya.
Pengurus pesantren, lanjut Roziqi, harus bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan santri. Dalam kasus yang menyebabkan kematian, hukum qishash dan diyat berlaku terhadap pelaku. Sedangkan dalam hukum positif, pengurus pesantren harus mengikuti peraturan yang berlaku di negara.
Sebagai langkah preventif, Bahtsul Masail Nasional merekomendasikan pesantren-pesantren untuk mensosialisasikan bahaya perundungan dan menerapkan sistem pendidikan yang ramah santri.
“Rekomendasi ini diharapkan dapat mencegah praktik perundungan dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Perundungan di Pesantren Jadi Pembahasan Utama Bahtsul Masail Nasional Tebuireng Jombang
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Ronny Wicaksono |